Wednesday, November 28, 2007

Entrepreneurial Leadership?

Dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini, V. Winarno, Ph.D, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM, menyitir sebuah kesimpulan maha guru manajemen modern Peter Drucker. Menurut Drucker, era ekonomi yang berdasarkan manajemen telah berakhir, dan kita sekarang bergerak ke era ekonomi berdasarkan kewirausahaan. Salah satu alasan yang disebutkan adalah karena manajemen menekankan pola berpikir secara rasional agar organisasi tetap survive. Dengan demikian manajemen, yang oleh Winarno diidentikkan dengan birokrasi, ketertiban, aturan dan prosedur, tak jarang membuat organisasi lambat menjawab perubahan. Keterlambatan ini seringkali tidak memuaskan pelanggan dan pada akhirnya akan merugikan organisasi. Dalam konteks ini ekonomi yang didasarkan kewirausahaan dirasakan lebih baik, karena setiap orang diberi kesempatan untuk melakukan yang terbaik dalam waktu cepat.

Tema diskusi kala itu adalah From Entrepreneur to Intrapreneur: How to Institutionalize Creativity, Innovations, and Intrapreneurship in Your Company. Dalam tema tersebut terkesan ada harapan untuk mencari sejumlah cara agar entrepreneurship spirit dari orang perseorangan [biasanya pendiri organisasi bisnis] dapat ditularkan atau diakomodasi secara sistemik ke dalam sebuah sistem organisasi dan membentuk apa yang bisa disebut sebagai entrepreneurial organization. Untuk itu diperlukan sejumlah intrapreneur alias intra corporate entrepreneur [entrepreneur dalam organisasi]. Dan mereka yang diharapkan memainkan peranan sebagai intrapreneur ini [siapa lagi kalau bukan] para manajer, terutama di lapisan tengah. Mereka inilah yang diharapkan melakukan berbagai kegiatan entrepreneurial dalam organisasi.

Dalam diskusi tersebut, ikut hadir Marius Widyarto Wiwied, CEO PT Caladi Lima Sembilan, produsen kaos C-59 yang sudah memasuki pasar manca negara dengan merek C-Forty Nine. Ia berusaha membedakan antara manajer, entrepreneur, dan intrapreneur. Dari aspek kebebasan bertindak, manajer boleh dikatakan paling tidak bebas. Entrepreneur paling bebas, dan intrapreneur agak bebas. Ini nampak dalam hal pengambilan keputusan. Manajer harus bersetuju dengan penguasa [atasannya], menunda keputusan sampai merasa apa yang diinginkan atasannya tercapai. Entrepreneur mengikuti pandangan pribadi, mengambil keputusan dan berorientasi pada tindakan. Intrapreneur mahir mengajak orang lain menyetujui pandangannya, lebih sabar dan mau lebih berkompromi daripada seorang entrepreneur, sebab bagaimana pun intrapreneur tetap seorang pelaksana.

Laporan hasil diskusi yang dipublikasikan oleh majalah MANAJEMEN tersebut, hemat saya, menunjukkan adanya pergeseran harapan terhadap peran manajer dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi pemerintahan [terutama BUMN dan BHMN]. Mereka yang menduduki posisi manajerial tidak lagi diharapkan sekadar menjalankan fungsi-fungsi manajemen, karena itu saja tidak cukup untuk menopang pertumbuhan organisasi di tengah arus perubahan yang semakin cepat. Mereka juga diharapkan memainkan peranan sebagai entrepreneur dalam skala dan intensitas tertentu.

Ada sejumlah pertanyaan yang masih perlu dicari jawabannya terhadap pergeseran harapan atas peran para manajer itu. Pertama, apakah hal itu mengukuhkan sinyalemen sementara pihak mengenai matinya ilmu manajemen, atau sekadar menunjukkan bahwa manajemen tetap diperlukan, tetapi tidak cukup [necessary but insufficient]? Kedua, bagaimana dengan peran manajer sebagai pemimpin yang membuat lahirnya istilah Manager-Leader [antara lain dipergunakan oleh Andrew Tani dan kawan-kawan] atau Leader-Manager? Ketiga, jika manajer bisa dibedakan dengan entrepreneur dan intrapreneur, maka apa yang membedakan seorang entrepreneur dan intrapreneur dengan seorang leader? Keempat, apakah kita memiliki sejumlah contoh kasus untuk membuktikan bahwa kehadiran intrapreneur akan membuat organisasi berkembang ke arah innovative and creative organization? Kelima, jika kita ingin membangun sebuah entrepreneurial organization, maka apa saja prakondisi dan kondisi yang diperlukan untuk itu? Dan seterusnya.

Meski pernah memikirkan kemungkinan matinya ilmu manajemen, namun belakangan ini saya menyadari bahwa manajemen [dalam arti birokrasi, aturan dan prosedur] tetap akan diperlukan dalam batas-batas tertentu. Manajemen itu ibarat tubuh manusia yang melaksanakan berbagai aktivitas sesuai dengan arahan akal sehat dan hati nuraninya. Tubuh penting, namun bukan yang terpenting. Kegagalan paradigma manajemen terletak pada dominasinya terhadap hal-hal yang tidak bisa dimanajemeni, yakni spirit manusia. Mungkin itu sebabnya Gede Prama mengumandangkan konsep manajemen sebagai spirit. Manajemen an sich tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya.

Terobosan pertama yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kepemimpinan, yang mulai marak sejak akhir dekade 80-an. Jika manajemen mengurusi benda-benda [things] dan kepemimpinan bertalian dengan orang [people], maka dalam pengelolaan sebuah organisasi yang beranggotakan manusia dan memiliki aset-aset non-manusia, manakah yang harus didahulukan atau diprioritaskan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menjawab pertanyaan istilah mana yang lebih tepat Manager-Leader atau Leader-Manager.

Terobosan kedua yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kewirausahaan, yang boleh dikatakan menyambut meilenium ketiga, abad ke-21. Jika paradigma kepemimpinan berusaha menggugah spirit manusia dalam organisasi, maka paradigma kewirausahaan menantang keberanian bertindak untuk menyatakan spirit tersebut dalam bentuk konkrit yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan [stakeholders]. Diperlukan setumpuk keberanian untuk melakukan hal-hal baru [kreatif] atau untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda [inovatif].

Tidak terlalu jelas bagi saya atribut macam apa yang membedakan seorang leader dengan seorang entrepreneur. Keduanya pastilah memerlukan keberanian bertindak yang digerakkan oleh visi tertentu. Keduanya pastilah memiliki kecenderungan tidak puas dengan apa yang telah ada [status quo], sehingga berupaya melakukan perubahan dan pembaharuan. Namun jika fokus pengembangan organisasi diarahkan melalui pengembangan manusia dalam organisasi, mungkin itu lebih dekat dengan soal leadership. Sementara fokus pengembangan organisasi melalui pengembangan produk dan/atau jasa yang kreatif [baru] dan inovatif [berbeda], mungkin hal itu lebih dekat dengan entrepreneurship. Dapatkah pengembangan manusia dan pengembangan produk/jasa dalam organisasi dipisahkan secara tegas? Saya tidak tahu. Akan tetapi saya kira isu-isu organisasi akan bergerak dari leadership-management ke entrepreneurial leadership.

Jika benar bahwa kepemimpinan organisasi kini dan di masa mendatang memerlukan pola kepemimpinan yang bercorak kewirausahaan [entrepreneurial leadership], maka bagaimanakah kita membedakannya dengan kepemimpinan yang bercorak manajemen?

Pada titik ini saya kira penegasan Raymond W.Y. Kao, profesor di Nanyang Business School, Nanyang Technoligal University, Singapura, menjadi penting untuk disimak. Menurut Kao, kita harus meninggalkan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah mesin produksi uang untuk kepentingan segelintir orang saja [yakni investor yang sibuk mempersoalkan ROI-nya]. Dan sebagai gantinya kita harus menggunakan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah sebuah komunitas entrepreneur yang diciptakan untuk menghasilkan kesejahteraan bagi individu dan memberi nilai tambah kepada masyarakat. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan individu tertentu [para investor yang segelintir itu] hanya dapat diterima sepanjang usaha mereka memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Jika peningkatan kesejahteraan individu diukur dari Return on investment [ROI], maka nilai tambah bagi masyarakat diukur dari Return on labour [ROL, share of fruit of labour], Return on resources [ROR], dan Return on environment [ROE]. Jadi, dengan pendekatan entrepreneurial leadership, sebuah organisasi, terutama organisasi bisnis, tidak boleh hanya disibukkan dengan soal-soal seberapa cepat dan seberapa besar para shareholders memperoleh ROI-nya, tetapi juga soal-soal strategis lainnya seperti ROL, ROR, dan ROE dari kegiatan usahanya.

Dalam sistem politik dan ekonomi yang masih didominasi oleh paradigma manajemen, kehadiran entrepreneurial leader agaknya menjadi kerinduan banyak pihak di negeri ini. Ia bisa diharapkan untuk mengatasi kesenjangan yang amat besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin, sebab ia selalu concern tentang perluasan kesempatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup dimana usahanya berlangsung. Dan mengingat studi Arie De Geus dalam The Living Company [1997], kita dapat mengatakan bahwa organisasi yang dikendalikan oleh entrepreneurial leader akan menjadi organisasi bisnis yang mampu bertahan dalam jangka panjang [ratusan tahun], karena kepedulian mereka terhadap masalah-masalah socio-ekonomi dan lingkungan hidup di sekitarnya. Demikiankah?

MEMAKNAI KERJA

"Apa arti kerja bagi Anda?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Aktivitas untuk memperoleh nafkah hidup,” jawab Didi yang pengusaha.
”Kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau hasil,” ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.
”Tugas-tugas yang harus ditunaikan,” kata Wawan yang tentara.
”Mengembangkan potensi diri, memenuhi panggilan batin, mencari nafkah sekaligus memberi makna pada hidup melalui karya-karya kita,” urai Bagong yang pegawai.

***

Di sekolah kehidupan kita menyaksikan bahwa cara pandang atau peta yang kita pergunakan untuk memberi makna pada pekerjaan, akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam bekerja. Seorang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting, bernilai, bahkan mulia, misalnya, akan menunjukkan sikap kerja yang berbeda dengan mereka yang memaknai pekerjaannya sebagai hal yang tidak penting, tak bernilai, bahkan hina. Orang-orang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang pantas dibanggakan akan menunjukkan perilaku kerja yang berbeda dengan orang-orang yang merasa malu dengan pekerjaan mereka. Masalahnya bukan pada ”apa yang dikerjakan”, tetapi pada bagaimana mereka memaknai pekerjaan tersebut.

Seperti seorang kawan bernama Anton yang memaknai pekerjaannya hanya sebagai pekerjaan untuk nafkah hidup semata. Statusnya sebagai wiraniaga di perusahaan asuransi terkemuka negeri ini, sebenarnya cukup bisa dibanggakan. Namun, ia sedikit sekali menaruh minat atas apa yang dikerjakannya dan tak menyukai sifat pekerjaannya yang memberikan banyak tantangan. Hanya karena merasa wajib bekerja agar mendapatkan penghasilan, maka Anton bertahan di tempat kerjanya itu. Akibatnya, Anton sangat sensitif terhadap soal jumlah komisi yang diperolehnya. Jika komisinya berkurang sedikit saja dari biasanya, atau ia mendapatkan informasi ada komisi yang sedikit lebih tinggi di perusahaan asuransi lain, maka ia langsung ingin cepat-cepat pindah kerja. Kalau ada kesempatan kerja di luar industri asuransi pun, sepanjang hal itu memberikan penghasilan lebih besar, Anton akan segera merasa tertarik. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi Anton adalah tanggal pembayaran komisi/gajian. Selebihnya adalah kewajiban yang harus dilakukan.

Berbeda dengan Anton, kawan bernama Tommy memaknai pekerjaannya sebagai karier. Ia ingin ada peningkatan karier dari waktu ke waktu. Artinya, ia tidak melihat uang atau gaji sebagai satu-satunya faktor penentu kepuasan kerjanya. Ia juga memperhitungkan soal-soal lain, terutama soal kekuasaan/jabatan, status sosial, dan gengsi. Walau gajinya sebagai kepala bidang operasional sebuah bank nasional yang sudah mapan hanya rata-rata industri saja, namun ia tetap bersemangat karena merasa ada prospek karier untuk menjadi kepala cabang di tahun-tahun mendatang. Lagi pula, ia sudah mulai mendapatkan fasilitas pinjaman untuk membeli mobil idamannya, sesuatu yang menaikkan gengsinya di lingkungan kerabat dan tempat pemukimannya. Bagi Tommy, ia akan mulai berpikir untuk mencari pekerjaan baru, bila kariernya sudah mentok tak kemana-mana.

Lain lagi halnya dengan Titin yang bekerja sebagai penulis lepas. Ia memaknai pekerjaannya sebagai panggilan batin. Ia mencintai pekerjaannya, dan antara pekerjaan dengan irama kehidupannya sehari-hari tak terlalu banyak bedanya. Sebagai ibu dari dua anak remaja yang sudah ditinggal mati oleh suaminya, Titin terkadang ikhlas tak mendapatkan imbalan material apapun dari karya tulisnya yang dipublikasikan pihak lain untuk tujuan sosial. Ia merasa memang itulah tugasnya. Ia merasa ada kemuliaan dari apa yang dikerjakannya. Dan ia juga sangat menikmati kebebasan waktu kerjanya yang menurutnya ”tak ternilai harganya”. Sebab, sebagai penulis lepas ia bisa mengatur sendiri waktu untuk mengurus anak-anak dan mencari nafkah. Ia juga tidak harus terikat pada lokasi kerja seperti kantor, karena bisa bekerja dimana saja berkat laptop sederhana miliknya. Karenanya, walau penghasilan Titin tak berlebihan, ia tak pernah berpikir untuk berganti pekerjaan.

Baik Anton, Tommy, maupun Titin, adalah wajah dari orang-orang di sekitar kita. Orang-orang seperti Anton selalu mengutamakan gaji, komisi, uang. Status sosial, gengsi, jabatan, dan panggilan hidup urusan belakangan. Sepanjang pekerjaan mereka menghasilkan uang yang lebih banyak, mereka bersemangat dalam bekerja. Sementara orang-orang seperti Tommy masih bersedia bersabar dengan gaji yang pas-pasan, asalkan diberi jabatan formal, kekuasaan memimpin sejumlah bawahan, dan gengsi karena bekerja di perusahaan terkemuka. Dan bagi orang-orang seperti Titin, pekerjaan haruslah berkaitan dengan keyakinannya atas kontribusi hidupnya bagi keluarga, bangsa, masyarakat, atau dunia. Tak soal penghasilan pas-pasan, tanpa jabatan mentereng, tak punya kantor yang megah, dan sebagainya. Asal ada keyakinan bahwa karya-karyanya berguna bagi banyak orang, ikut mendorong proses-proses kebudayaan, membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah dan layak dihuni, cukuplah.

Anton, Tommy, dan Titin amat boleh jadi merasakan kepuasan yang berbeda atas hasil-hasil pekerjaannya. Di antara mereka juga mungkin sulit untuk saling memahami pilihan satu dengan yang lain. Masalahnya bukan pada ”apa” yang mereka kerjakan, tetapi pada kemampuan memaknai pekerjaan itu sendiri. Artinya, bisa saja seorang buruh pabrik atau tukang angkut sampah memaknai pekerjaan sebagai amanah atau panggilan hidup yang harus ditunaikan. Ia bisa dengan ikhlas dan senang hati melakukan pekerjaannya. Dan sebaliknya, seorang eksekutif muda atau manajer senior di perusahaan terkemuka hanya menganggap pekerjaannya sebagai sarana memperoleh uang semata. Sehingga, ia sering merasa terbebani, tidak gembira dan kurang puas dengan pekerjaannya.

Sejumlah psikolog ahli yang mendalami masalah kepuasan kerja dan kepuasan hidup menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang mampu memaknai pekerjaannya sebagai hal yang berkaitan dengan panggilan hidup atau amanah yang harus ditunaikanlah yang mengalami kepuasan kerja dan kepuasan hidup paling maksimal. Mereka umumnya memiliki minat yang tinggi terhadap apa yang mereka kerjakan, dan menikmati sifat-sifat dari pekerjaannya. Itu sebabnya ada kegembiraan dalam bekerja, dan motivasi mereka mengalir dari dalam batinnya. Mereka menjadi orang-orang yang tidak saja produktif dan kreatif, tetapi juga sekaligus loyal dengan tugas pekerjaannya.

Bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita pilih saat ini? Adakah pekerjaan yang kita lakukan hari-hari ini sesuai dengan minat dan potensi terbaik kita? Disamping soal uang, apakah pekerjaan kita berkesesuaian dengan panggilan hidup atau amanah dari langit yang memang perlu ditunaikan? Mampukah kita melihat kemuliaan dari pekerjaan kita? Setiap kita tentu memiliki jawabannya masing-masing. Yang jelas, bila kita ingin meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan hidup, maka hal terpenting yang mungkin perlu kita periksa adalah bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari.

Memberi makna pada pekerjaan, itulah hal yang tak bisa dilakukan oleh mesin-mesin canggih dewasa ini. Memberi makna pada pekerjaan juga tak mampu dilakukan oleh kambing, kucing, dan anjing. Sebab kemampuan memberi makna, adalah kemampuan khas yang dianugerahkan Sang Pencipta hanya kepada manusia ciptaan-Nya. Dan dengan bekal kemampuan memaknai ini pula manusia di mungkinkan untuk mengenal konsep kebahagiaan dalam hidupnya. Apakah kemampuan ini kita kembangkan dengan gegap gempita, atau terbengkalai begitu saja sehingga kita sering merasa terlunta kehilangan arah?

Sumber: Andrias Harefa, Writer- Trainer- Speaker

Andrias Harefa Training & Seminars

Andrias Harefa memulai karirnya di dunia training (pelatihan) SDM pada tahun 1989 ketika ia hijrah ke Jakarta untuk bergabung dengan Dale Carnegie Training - sebuah lembaga pelatihan bisnis terkemuka di dunia, yang berpusat di New York, Amerika Serikat. Di sini karirnya sebagai Training Consultant melejit hingga membuahkan beberapa penghargaan seperti: Konsultan Berprestasi [Club 250 tahun 1992], [Diamond Club 4 tahun berturut-turut, 1993-1996] serta sebagai Instruktur Yang Kreatif-Inovatif [1995].

Kini ia dikenal sebagai seorang Trainer dengan jam terbang terbanyak di negeri ini (lebih dari 15.000 jam). Sudah lebih dari 100.000 orang di berbagai institusi dan perusahaan di hampir semua kota besar Indonesia pernah diberi peatihan olehnya, di antaranya adalah: lihat klien.

Berikut topik pelatihan dari Andrias Harefa:

* Etika Bisnis

* Kreativitas & Inovasi Sistematik

* Supervisor-Manager Yang Efektif Berprestasi

* Effective Communication & Interpersonal Skills

* Professional Selling Skills

* Adversity Quotient for Sales People

* Adversity Quotient for Leaders

* Professional Writing Skills

* Business Presentation Skills


Lain-lain:

* Interpersonal Communication and People Skills

* Interpersonal Communication and People Skills

* Basic Salesmanship Training

* Consultative Selling Approach

* Productive-Creative Work Attitude

* Learning for Better Performance

* Public Speaking for Managers

* Applied Leadership and Practical Management

* Mindset and Action Management

Selain sebagai seorang Master Trainer, mantan presenter Book Reiew di Metro TV (2001) dan Success Story (Q-Channel Indovision, 2002) ini juga dikeal sebagai pembicara inspirasional, motivator, pembicara publik pada berbagai seminar yangdihadiri ratusan hingga ribuan orang serta sebagai narasumber di sejumlah stasiun radio dan televisi.

Beberapa topik seminar yang pernah dibawakannya bisa di lihat di sini: topik seminar