Friday, December 14, 2007

Belajar Optimis

Menjadi entrepreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi baru negeri ini. Meraih cita-cita semacam itu tentu memerlukan keyakinan kuat bahwa ada harapan untuk mengubah cita-cita menjadi realita. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah optimisme, yakni sikap mempunyai pengharapan akan hal-hal baik dan menyenangkan dalam segala hal yang diusahakan. Sebab tanpa optimisme yang memadai, perjuangan menjadi entrepreneur sukses kemungkinan besar akan berakhir dengan "kisah sedih di hari minggu".

Masalahnya sekarang adalah bagaimana membangun optimisme dari dalam diri kita? Apakah benar optimisme itu bisa ditumbuhkan? Bukankah sebagian orang merasa dilahirkan sebagai orang yang pesimis "dari sononya"? Adakah cara mengubah pesimisme menjadi optimisme? Bisakah orang yang "mudah menyerah" dilatih menjadi orang yang "pantang menyerah"? Demikian sejumlah pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabnya.

Cara kita menjawab setiap pertanyaan di atas akan secara langsung menunjukkan apakah kita cenderung optimis atau cenderung pesimis. Orang optimis akan menjawab pertanyaan di atas dengan kata-kata vang menimbulkan harapan, apapun bentuk kalimatnya. Sementara orang pesimis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menggunakan kata-kata vang menunjukkan ketidakberdayaan.

Kalimat-kalimat seperti, "ada banyak cara membangun optimisme", "kita pasti bisa menumbuhkan optimisme", "kita dilahirkan untuk berkarya", "ada banyak jalan menuju Roma", "semua orang bisa kalau ia mau belajar sungguh-sungguh", "apa yang sulit itu bukan berarti mustahil", "kalau kita belum mencoba dengan sungguh-sungguh, bagaimana kita bisa tahu kita mampu atau tidak? coba dulu", "kesulitan itu latihan mental yang kita perlukan untuk maju", "kalau gagal hari ini, besok belum tentu", adalah contoh dari kalimat¬-kalimat yang sering dipergunakan oleh orang-orang optimis. Sebaliknya, orang-orang pesimis akan lebih menyukai kalimat-kalimat seperti, "menjadi optimis itu sulit sekali", "mana mungkin orang bisa diajar optimis", "sejak kecil saya sudah begini", "ayah dan ibu saya juga pesimis kok", "saya memang tidak berbakat", "hal semacam itu mustahil bagi saya", "sudah pernah saya coba dan nggak bisa", "saya memang bodoh", "tidak ada lagi yang bisa saya lakukan", "saya nggak tahan lagi", "lingkungan saya tidak mendukung", dan seterusnya.

Andai kalimat-kalimat di atas di bedah lebih rinci, maka akan nampak sebuah pola khusus yang membedakan pola pikir kaum optimis dengan kaum pesimis. Kalimat –kalimat yang dipikirkan orang optimis mengandung harapan dan mendorong adanya tindakan aktif. Sementara kalimat-kalimat yang menguasai pikiran orang pesimis berujung pada rasa takut, rasa tak berdaya, rasa menjadi korban keadaan/lingkungan. Ketika orang optimis berpikir ke arah Timur, maka orang pesimis berpikir ke arah Barat.

Hal ini menjadi lebih mudah dipahami jika diperhadapkan pada kesulitan atau penderitaan hidup [misfortune, suffering] . Kaum optimis akan menjelaskan-terutama pada dirinya sendiri-bahwa semua kesulitan bersifat sementara dan pasti berlalu; bahwa kesulitan dalam suatu hal tertentu tidak harus berdampak pada bidang yang lain, jadi terbatas cakupannya; dan sejumlah kesulitan dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal dan bukan karena dirinya bodoh atau bernasib malang melulu. Sementara, ketika diperhadapkan pada kesulitan dan penderitaan hidup, kaum pesimis memiliki kecenderungan untuk mengatakan - juga pada dirinya sendiri- bahwa hal ini bersifat permanen ["ini tidak akan pernah berubah"]; meluas aspek-aspek kehidupan yang lain ["semuanya akan hancur"]; dan bersifat personal ["ini semua kesalahan saya" atau "saya memang tidak berbakat"].

Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebenarnya cara kita menjelaskan suatu peristiwa kepada diri kita sendiri, akan menentukan respons atau tanggapan kita terhadap peristiwa tersebut. Selanjutnya, tanggapan kita atas suatu peristiwa akan membentuk pola pikir [thinking pattern] mana yang kita kuatkan sebagai kebiasaan. Semuanya itu berlangsung setiap hari, perlahan tapi pasti, dan kita memetik buah-buah kebiasaan tersebut dalam bentuk keadaan hidup kita saat ini. Apakah kita menjadi pribadi yang tangguh/optimis atau pribadi yang rapuh/pesimis adalah hasil dari cara kita merespons masalah dan kesulitan hidup sehari-hari. Dan cara kita merespons persoalan-persoalan hidup sehari-hari dapat berubah jika kita memutuskan untuk mengubah kata-kata dan kalimat yang kita katakan kepada diri kita sendiri.

Perhatikan kata-kata dan kalimat yang biasa digunakan oleh kaum optimis, lalu mulailah menggunakan kalimat-kalimat tersebut sebagai pengganti kalimat-kalimat yang menimbulkan pesimisme. Lakukan dengan tekun SETIAP HARI. Buanglah kata-kata dan kalimat yang menganiaya harapan. Jika itu dibiasakan selama tiga bulan saja, hasilnya akan luar biasa. Motivasi, semangat juang, dan optimisme kita bisa tumbuh begitu rupa, sehingga kita sendiri takjub atas pertumbuhan kita. Begitulah jutaan orang di sejumlah negara yang mengikuti anjuran Martin Seligman [Learned Optimism; 1990] dan belakangan juga Paul Stoltz [Adversity Quotient; 1997] membuktikan hal tersebut.

Tulisan ini hendak menegaskan bahwa optimisme atau pesimisme sesungguhnya BUKANLAH sifat bawaan, BUKAN pula takdir seseorang, BUKAN nasib, dan BUKAN sesuatu yang tidak mungkin diubah. Optimis atau pesimis adalah hasil pembelajaran, hasil pembiasaan berpikir dengan pola tertentu. Sama seperti semua bayi bisa berjalan karena belajar sedikit demi sedikit, demikian juga kita bisa menumbuhkan optimisme dari dalam diri kita setahap demi setahap. Belajar menjadi optimis itu mungkin tidak mudah, tetapi juga tidak lebih sulit dari belajar menggunakan kendaraan di jalan raya yang ramai. Setiap orang yang bisa naik sepeda kayuh, pandai mengendarai sepeda motor, atau mampu menyetir mobil, pasti bisa meningkatkan optimisme dalam berusaha meningkatkan kualitas hidupnya.

Bukankah demikian?

Sumber: Andrias Harefa, "WTS" (Writer, Trainer, and Speaker)

No comments: