Friday, December 14, 2007

P E L U A N G

Menjadi enterpreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi baru negeri ini. Dan bila tekad untuk itu telah dipancangkan, maka soalnya berlanjut ke pelajaran seputar peluang. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Jose Carlos Jarillo-Moss, entrepreneur tak lain adalah orang-orang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang yang cocok dengan dirinya, dan percaya bahwa keberhasilan merupakan sesuatu yang bisa dicapai.

Bagaimanakah caranya kita bisa merasakan adanya peluang? Mungkin seperti pengalaman Purdi Chandra ketika merintis Primagama di tahun 80-an. Waktu itu ia melihat kenyataan betapa sulitnya tes masuk ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Bukan Cuma Purdi yang melihat kenyataan tersebut. Ada begitu banyak orang yang tahu bahwa sebuah lembaga kursus yang bisa membantu seorang siswa lulusan SMA/SMU masuk ke UGM pasti akan diminati banyak orang. Hanya saja, bagi sebagian besar orang, pengetahuan itu tidak dirasakan sebagai peluang usaha. Purdi merasakannya. Ia mulai buka kursus dengan modal seadanya, peserta seadanya, dan fasilitas seadanya. Ia merasakan peluangnya, dan perasaan itu mendorong tindakan konkrit.

Atau kita bisa belajar dari pengalaman sejumlah network marketer di industri DS-MLM. Tokoh-tokoh sekaliber Alex lW di CNI, atau Robert Angkasa di Amway, pada mulanya juga tidak terlalu bersemangat menjalankan bisnis yang "tidak kantoran" itu. Akan tetapi, perlahan tapi pasti, mereka akhimya sampai pada tahap mampu merasakan bahwa bisnis yang mereka tekuni adalah bisnis yang luar biasa. Semakin mantap perasaan mereka terhadap peluang bisnis yang mereka tekuni, semakin banyak tindakan yang mereka ambil untuk lebih memfokuskan diri menjalankan bisnis tersebut.

Jadi, merasakan adanya peluang memerlukan sedikitnya dua hal, yakni: pertama, kemampuan melihat kemungkinan melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang; dan kedua, keberanian untuk menguji apakah hal yang mungkin menghasilkan uang itu akan benar-benar menghasilkan uang kalau ditekuni.

Pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana caranya kita tahu bahwa suatu peluang cocok dengan diri kita? Jawaban yang paling jujur adalah: kita tidak pernah tahu pasti. Bukan peluangnya yang kita tidak tahu pasti, melainkan diri kitalah yang tidak kita ketahui dengan pasti. Ada banyak potensi yang kita miliki yang justru akan bertumbuh kalau kita berani bertindak, mencoba dan menguji batas-batas kemampuan kita dalam mengendaliakan sesuatu. Ini ibarat seorang pria jatuh hati pada seorang perempuan. Bagaimana ia tahu bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan? Dan bagaimana pula ia memastikan bahwa kelak ia tidak akan jatuh cinta lagi kepada perempuan lain? la bisa mencari sejumlah tanda-tanda atau indikator yang menunjukkan mereka bisa cocok satu sama lain. Namun yang paling diperlukan adalah mendekati sang perempuan, mencari tahu segala sesuatu tentang dirinya, dan terus menerus membaca seberapa besar peluang untuk bisa menikahi perempuan idaman tersebut. Jadi, lagi-lagi yang diperlukan adalah keberanian bertindak, yang tentu saja disertai dengan komitmen yang teguh.

Patut diduga bahwa Primagama bukanlah usaha Purdi yang pertama. la juga mencoba usaha-usaha lainnya. Namun, pengalaman lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri sampai 2-3 kali membuatnya merasa cocok untuk bisnis yang satu itu. Kita juga bisa menanyakan apakah orang sekaliber Om William atau Om Liem yang konglomerat dulu itu langsung mantap dengan usaha pertamanya, atau juga harus jatuh bangun mengejar peluang yang cocok dengan dirinya?

Jika untuk sementara kita gagal dalam jenis usaha tertentu, bukan berarti kiamat. Boleh jadi itu hanya menunjukkan untuk usaha tertentu, kita tidak cocok. Asalkan hati mantap untuk menjadi entrepreneur, cari lagi jenis usaha yang lain. Belum cocok juga, coba yang lain lagi. Ibarat ingin menikah, carilah pasangan sampai dapat. Jika putus pacaran satu dua kali langsung memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup, berarti tekad menikahnya tidak cukup kuat. Dan jika tekad menjadi entrepreneur tidak cukup kuat, hampir bisa dipastikan akan berakhir dengan "kisah sedih di hari minggu". Sebab ada banyak studi yang menunjukkan bahwa menjadi entrepreneur itu memerlukan semacam sifat tahan banting.

Pertanyaan terakhir adalah bagaimana caranya membangun keyakinan bahwa kita bisa menjadi entrepreneur sukses dalam bidang usaha yang kita pilih? Menekuni peluang yang kita rasa cocok dengan diri kita pastilah membuat kita yakin bisa berhasil. Masalahnya, keyakinan itu ibarat air laut yang kadang pasang dan kadang surut.

Keyakinan bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh setidaknya empat hal, yakni: pertama, kejelasan visi dan target yang ingin dicapai; kedua, pengalaman pribadi yang mendukung atau yang tidak mendukung; ketiga, berbagai peristiwa yang sedang berlangsungdi masyarakat; dan keempat, pengetahuan dan wawasan intelektual yang kita miliki. Keempat hal tersebut harns dikelola, dimanajemeni, agar menumbuhkan keyakinan dan bukan malah menganiaya keyakinan. Dengan terus memperje1as target yang ingin dicapai secara periodik, menginventarisasi pengalaman yang mendukung [mencatat atau mengingat-ingat sukses- sukses kecil di masa lalu], mencermati sejumlah peristiwa yang aktual di masyarakat untuk diambil pelajarannya, serta meningkatkan wawasan pengetahuan lewat bacaan, travelling, networking, dan sebagainya, maka keyakinan akan bisa terpelihara dan bertumbuh.

Jadi, bagi siapa saja [terutama kaum muda) yang bertekad bulat menjadi entrepreneur, mulailah belajar merasa-rasakan adanya peluang. Kemudian, bertindaklah, cobalah mengejar peluang yang dirasa cocok sampai benar-benar ketemu yang benar-benar cocok. Dan jangan lupa untuk berusaha menumbuhkembangkan keyakinan dengan memperjelas arah dan langkah dari waktu ke waktu, serta menarik sebanyak mungkin pelajaran dari universitas kehidupan. Jika ini dilakukan, maka boleh jadi kesuksesan hanyalah soal waktu semata.

Bukankah demikian?

Sumber: Andrias Harefa, WTS (Writer, Triner, and Speaker)

No comments: