Friday, December 14, 2007

R I S I K O

Menjadi enterpreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi baru negeri ini. Dan bagi siapa saja yang ingin meraih sukses dalam bisnisnya, hendaklah mengingat pesan Richard Cantillon, pencetus istilah "entrepreneur" di abad ke 19 lalu. Cantillon pernah mengatakan bahwa inti dari kegiatan entrepreneur adalah menanggung risiko. Mereka membeli barang tertentu hari ini, lalu menjualnya esok hari dengan harga yang tak pasti [baca: belum pasti memperoleh keuntungan]. Ibarat pedagang dari Bekasi membeli barang dari Tanah Abang dan Mangga Dua pada hari ini, lalu esok hari menjual barang yang sama kepada konsumennya. Atau seperti si Abang Gerobak Sayur yang membeli barang jam 04.00 pagi dari pasar, dan menjualnya di kompleks perumahan mulai pukul 06.30 sampai siang hari. Begitulah Cantillon menggambarkan kehidupan entrepreneur dalam garis besarnya.

Ada jarak waktu ketika "membeli" dan "menjual". Dan di antara jarak waktu itu, banyak hal bisa saja terjadi. Ibarat membeli dolar AS hari ini dengan nilai Rp 8.700,- dan waktu mau menjualnya kemudian ternyata nilai dolar naik menjadi Rp 9.325,-. Dalam konteks ini jarak waktu antara "membeli" dan "menjual" temyata memberikan untung. Andai hal yang sebaliknya terjadi, beli Rp 9.325,- dan jual Rp 8.700,- maka sudah jelas jadi buntung. Bagi Si Abang Gerobak Sayur di kompleks perumahan, soal jarak waktu ini lebih sederhana. Jika sayuran yang dijualnya belum habis sampai jam 10.00 WIB, maka ia harus rela menjual sayuran itu bahkan dibawah harga belinya, ketimbang layu, busuk, dan terbuang. Itulah risiko. Dan siapa saja yang ingin menjadi entrepreneur sukses harus lulus mata pelajaran "mengelola dan menyikapi risiko" dalam berbagai konteks dan artinya. Yang kita maksud tentu bukan pelajaran risk management di kampus, tetapi manajemen risiko di universitas kehidupan nyata.

Andai benar bahwa soal kemampuan mengelola dan menyikapi risiko merupakan inti dari entrepreneurship, maka sedikitnya kita perlu mempelajari tiga hal. Pertama, kita perlu menumbuhkan keberanian mengambil risiko yang diperIukan untuk meningkatkan kualitas dan taraf hidup kita. Ibarat seorang anak yang ingin bisa naik sepeda, maka keinginannya itu hanya mungkin tercapai jika ia menumbuhkan keberanian untuk mengambil risiko terjatuh ketika sedang belajar naik sepeda. Berani mengambil risiko untuk terjatuh saat belajar bersepeda, itulah yang saya maksudkan sebagai '"risiko yang diperlukan". Dan jatuh dari sepeda itu bisa luka kecil, luka besar, tapi bisa juga luka parah. Kecil-besar parahnya luka yang mungkin diderita bergantung kepada konteks, yakni dimana ia belajar naik sepeda dan siapa yang mendampingi atau mengajarinya. Kalau belajarnya di jalan raya yang padat lalu lintasnya, tentu risiko menjadi lebih besar. Sebaliknya kalau belajarnya di lapangan dekat rumah yang penuh rumput, maka risikonya diperkecil.

Dalam bisnis, hal yang sama berIaku. Kalau masih dalam taraf belajar jadi entrepreneur [baca: memulai usaha baru], jangan pertaruhkan semua modal yang ada [modal = uang, waktu, informasi, bakat, relasi, dsb]. Kalau perlu, bagaimana caranya agar tidak keluar modal yang tidak perlu. Ibarat belajar sepeda tadi, kalau bisa pinjam sepeda kawan, mengapa harus pakai sepeda sendiri, bukan? Tapi kita juga tidak boleh berpikir untuk mencari cara untuk menghindari "semua risiko", sebab itu pasti tidak mungkin. Jadi, untuk "risiko yang diperlukan" ambillah, jangan cuma bermimpi dan berangan-angan. Bertindaklah, hadapi risiko yang diperIukan. Mulai dari yang kecil, yang sederhana, lalu terus tingkatkan keberanian untuk mengambil risiko yang lebih besar.

Kedua, kita perlu mengetahui cara-cara mengalihkan meminimalisasi risiko risiko buruk yang tidak ingin kita tanggung kepada pihak-pihak lain yang bersedia menerimanya dengan hati gembira. Apakah ada pihak-pihak yang bersedia menerima risiko buruk dengan hati gembira? Ada. ltulah esensi bisnis perasuransian. Asuransi bertujuan memproteksi atau melindungi kita dari berbagai jenis risiko yang tidak kita inginkan dengan biaya tertentu yang harus kita bayar. Lihat saja ketika kita ambil kredit beli mobil dari bank atau lembaga keuangan lainnya, maka bank pasti mengasuransikan mobil tersebut, menahan BPKB, minta copy KTP, dan berbagai hal lainnya. Tujuannya apa? Melindungi dirinya [bank] dari kemungkinan menanggung risiko kerugian yang tidak mereka inginkan.

Tentu saja mengalihkan dan meminimalisasi risiko-risiko itu tidak selalu harus ikut asuransi. Memulai usaha dengan cara berpatungan dengan orang [-orang] yang lebih berpengalaman adalah cara lain untuk meminimalisasi risiko. Istilah kerennya, mendapatkan mentor bisnis yang mau membimbing. Mentor bisnis ini banyak modelnya. Orangtua yang melatih anaknya menjaga toko, sudah menjalankan peran sebagai mentor bisnis. Ir.Ciputra konon mementori sekitar enam orang pegawai intinya yang menjadi direktur unit-unit usaha yang dimilikinya [sesungguhnya semua atasan yang baik memainkan peran sebagai mentor]. Di bisnis waralaba, mentor bisnis ini di sebut sebagai pewaralaba [franchisor; pembimbing franchisee/terwaralaba]. Sementara dalam bisnis MLM atau network marketing, mentor bisnis ini kita sebut sponsor, dan jaringan up-line vertikalnya.

Ketiga, kita perlu belajar mengembangkan kemampuan menanggung risiko-risiko yang menimpa diri kita dan tetap bergerak maju meraih cita-cita. Artinya, jika akhirnya kita menanggung kerugian atau bangkrut, hadapi dengan tegar. Bayar semua hutang dan tunaikan semua kewajiban, dengan cara mencicil atau minta keringanan tertentu [restrukturisasi hutang]. Setelah semuanya teratasi, maka jika ada kesempatan lagi untuk berbisnis, coba lagi. Jangan mudah kapok. Universitas kehidupan mengajarkan kepada banyak orang bahwa jika kita ingin menjadi entrepreneur sukses, kita harns berani bangkit dari kegagalan yang bagaimana pun juga. Seperti pepatah Cina yang mengatakan, "Jatuh terpeleset itu tidak menakutkan. Yang menakutkan adalah setelah terpeleset tidak bisa bangkit lagi". Gagal boleh gagal, rugi boleh rugi, bangkrut boleh bangkrut, tapi menyerah TIDAK. Inilah mentalitas tangguh yang membuat orang biasa tumbuh menjadi entrepreneur sukses.

Jika kita telah [1] belajar untuk berani mengambil risiko yang diperlukan; lalu [2] mengetahui cara-cara mengalihkan dan/atau meminimalisasi risiko yang tidak kita inginkan; dan [3] mengembangkan kemampuan untuk tidak mudah menyerah ketika dihantam berbagai gelombang kehidupan; maka saya khawatir tinggal satu soalnya, yakni: siapkah kita merengkuh keberhasilan yang menanti di ujung perjuangan kita?

Pada titik ini saya teringat kata-kata kawan senior saya Andrie Wongso, "Bila kita KERAS terhadap diri sendiri, maka kehidupan akan LUNAK pada kita. Tetapi, bila kita LUNAK pada diri sendiri, maka kehidupan akan KERAS pada kita". Hemat saya, kalimat itu merangkum sejumlah kearifan yang dipetiknya dari proses perjuangan keras meraih keberhasilan hidup sebagai entrepreneur sukses.

Bukankah demikian?

Sumber: Andrias Harefa, "WTS" (Writer, Trainer, Speaker)

No comments: