Friday, December 14, 2007

R I S I K O

Menjadi enterpreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi baru negeri ini. Dan bagi siapa saja yang ingin meraih sukses dalam bisnisnya, hendaklah mengingat pesan Richard Cantillon, pencetus istilah "entrepreneur" di abad ke 19 lalu. Cantillon pernah mengatakan bahwa inti dari kegiatan entrepreneur adalah menanggung risiko. Mereka membeli barang tertentu hari ini, lalu menjualnya esok hari dengan harga yang tak pasti [baca: belum pasti memperoleh keuntungan]. Ibarat pedagang dari Bekasi membeli barang dari Tanah Abang dan Mangga Dua pada hari ini, lalu esok hari menjual barang yang sama kepada konsumennya. Atau seperti si Abang Gerobak Sayur yang membeli barang jam 04.00 pagi dari pasar, dan menjualnya di kompleks perumahan mulai pukul 06.30 sampai siang hari. Begitulah Cantillon menggambarkan kehidupan entrepreneur dalam garis besarnya.

Ada jarak waktu ketika "membeli" dan "menjual". Dan di antara jarak waktu itu, banyak hal bisa saja terjadi. Ibarat membeli dolar AS hari ini dengan nilai Rp 8.700,- dan waktu mau menjualnya kemudian ternyata nilai dolar naik menjadi Rp 9.325,-. Dalam konteks ini jarak waktu antara "membeli" dan "menjual" temyata memberikan untung. Andai hal yang sebaliknya terjadi, beli Rp 9.325,- dan jual Rp 8.700,- maka sudah jelas jadi buntung. Bagi Si Abang Gerobak Sayur di kompleks perumahan, soal jarak waktu ini lebih sederhana. Jika sayuran yang dijualnya belum habis sampai jam 10.00 WIB, maka ia harus rela menjual sayuran itu bahkan dibawah harga belinya, ketimbang layu, busuk, dan terbuang. Itulah risiko. Dan siapa saja yang ingin menjadi entrepreneur sukses harus lulus mata pelajaran "mengelola dan menyikapi risiko" dalam berbagai konteks dan artinya. Yang kita maksud tentu bukan pelajaran risk management di kampus, tetapi manajemen risiko di universitas kehidupan nyata.

Andai benar bahwa soal kemampuan mengelola dan menyikapi risiko merupakan inti dari entrepreneurship, maka sedikitnya kita perlu mempelajari tiga hal. Pertama, kita perlu menumbuhkan keberanian mengambil risiko yang diperIukan untuk meningkatkan kualitas dan taraf hidup kita. Ibarat seorang anak yang ingin bisa naik sepeda, maka keinginannya itu hanya mungkin tercapai jika ia menumbuhkan keberanian untuk mengambil risiko terjatuh ketika sedang belajar naik sepeda. Berani mengambil risiko untuk terjatuh saat belajar bersepeda, itulah yang saya maksudkan sebagai '"risiko yang diperlukan". Dan jatuh dari sepeda itu bisa luka kecil, luka besar, tapi bisa juga luka parah. Kecil-besar parahnya luka yang mungkin diderita bergantung kepada konteks, yakni dimana ia belajar naik sepeda dan siapa yang mendampingi atau mengajarinya. Kalau belajarnya di jalan raya yang padat lalu lintasnya, tentu risiko menjadi lebih besar. Sebaliknya kalau belajarnya di lapangan dekat rumah yang penuh rumput, maka risikonya diperkecil.

Dalam bisnis, hal yang sama berIaku. Kalau masih dalam taraf belajar jadi entrepreneur [baca: memulai usaha baru], jangan pertaruhkan semua modal yang ada [modal = uang, waktu, informasi, bakat, relasi, dsb]. Kalau perlu, bagaimana caranya agar tidak keluar modal yang tidak perlu. Ibarat belajar sepeda tadi, kalau bisa pinjam sepeda kawan, mengapa harus pakai sepeda sendiri, bukan? Tapi kita juga tidak boleh berpikir untuk mencari cara untuk menghindari "semua risiko", sebab itu pasti tidak mungkin. Jadi, untuk "risiko yang diperlukan" ambillah, jangan cuma bermimpi dan berangan-angan. Bertindaklah, hadapi risiko yang diperIukan. Mulai dari yang kecil, yang sederhana, lalu terus tingkatkan keberanian untuk mengambil risiko yang lebih besar.

Kedua, kita perlu mengetahui cara-cara mengalihkan meminimalisasi risiko risiko buruk yang tidak ingin kita tanggung kepada pihak-pihak lain yang bersedia menerimanya dengan hati gembira. Apakah ada pihak-pihak yang bersedia menerima risiko buruk dengan hati gembira? Ada. ltulah esensi bisnis perasuransian. Asuransi bertujuan memproteksi atau melindungi kita dari berbagai jenis risiko yang tidak kita inginkan dengan biaya tertentu yang harus kita bayar. Lihat saja ketika kita ambil kredit beli mobil dari bank atau lembaga keuangan lainnya, maka bank pasti mengasuransikan mobil tersebut, menahan BPKB, minta copy KTP, dan berbagai hal lainnya. Tujuannya apa? Melindungi dirinya [bank] dari kemungkinan menanggung risiko kerugian yang tidak mereka inginkan.

Tentu saja mengalihkan dan meminimalisasi risiko-risiko itu tidak selalu harus ikut asuransi. Memulai usaha dengan cara berpatungan dengan orang [-orang] yang lebih berpengalaman adalah cara lain untuk meminimalisasi risiko. Istilah kerennya, mendapatkan mentor bisnis yang mau membimbing. Mentor bisnis ini banyak modelnya. Orangtua yang melatih anaknya menjaga toko, sudah menjalankan peran sebagai mentor bisnis. Ir.Ciputra konon mementori sekitar enam orang pegawai intinya yang menjadi direktur unit-unit usaha yang dimilikinya [sesungguhnya semua atasan yang baik memainkan peran sebagai mentor]. Di bisnis waralaba, mentor bisnis ini di sebut sebagai pewaralaba [franchisor; pembimbing franchisee/terwaralaba]. Sementara dalam bisnis MLM atau network marketing, mentor bisnis ini kita sebut sponsor, dan jaringan up-line vertikalnya.

Ketiga, kita perlu belajar mengembangkan kemampuan menanggung risiko-risiko yang menimpa diri kita dan tetap bergerak maju meraih cita-cita. Artinya, jika akhirnya kita menanggung kerugian atau bangkrut, hadapi dengan tegar. Bayar semua hutang dan tunaikan semua kewajiban, dengan cara mencicil atau minta keringanan tertentu [restrukturisasi hutang]. Setelah semuanya teratasi, maka jika ada kesempatan lagi untuk berbisnis, coba lagi. Jangan mudah kapok. Universitas kehidupan mengajarkan kepada banyak orang bahwa jika kita ingin menjadi entrepreneur sukses, kita harns berani bangkit dari kegagalan yang bagaimana pun juga. Seperti pepatah Cina yang mengatakan, "Jatuh terpeleset itu tidak menakutkan. Yang menakutkan adalah setelah terpeleset tidak bisa bangkit lagi". Gagal boleh gagal, rugi boleh rugi, bangkrut boleh bangkrut, tapi menyerah TIDAK. Inilah mentalitas tangguh yang membuat orang biasa tumbuh menjadi entrepreneur sukses.

Jika kita telah [1] belajar untuk berani mengambil risiko yang diperlukan; lalu [2] mengetahui cara-cara mengalihkan dan/atau meminimalisasi risiko yang tidak kita inginkan; dan [3] mengembangkan kemampuan untuk tidak mudah menyerah ketika dihantam berbagai gelombang kehidupan; maka saya khawatir tinggal satu soalnya, yakni: siapkah kita merengkuh keberhasilan yang menanti di ujung perjuangan kita?

Pada titik ini saya teringat kata-kata kawan senior saya Andrie Wongso, "Bila kita KERAS terhadap diri sendiri, maka kehidupan akan LUNAK pada kita. Tetapi, bila kita LUNAK pada diri sendiri, maka kehidupan akan KERAS pada kita". Hemat saya, kalimat itu merangkum sejumlah kearifan yang dipetiknya dari proses perjuangan keras meraih keberhasilan hidup sebagai entrepreneur sukses.

Bukankah demikian?

Sumber: Andrias Harefa, "WTS" (Writer, Trainer, Speaker)

P E L U A N G

Menjadi enterpreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi baru negeri ini. Dan bila tekad untuk itu telah dipancangkan, maka soalnya berlanjut ke pelajaran seputar peluang. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Jose Carlos Jarillo-Moss, entrepreneur tak lain adalah orang-orang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang yang cocok dengan dirinya, dan percaya bahwa keberhasilan merupakan sesuatu yang bisa dicapai.

Bagaimanakah caranya kita bisa merasakan adanya peluang? Mungkin seperti pengalaman Purdi Chandra ketika merintis Primagama di tahun 80-an. Waktu itu ia melihat kenyataan betapa sulitnya tes masuk ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Bukan Cuma Purdi yang melihat kenyataan tersebut. Ada begitu banyak orang yang tahu bahwa sebuah lembaga kursus yang bisa membantu seorang siswa lulusan SMA/SMU masuk ke UGM pasti akan diminati banyak orang. Hanya saja, bagi sebagian besar orang, pengetahuan itu tidak dirasakan sebagai peluang usaha. Purdi merasakannya. Ia mulai buka kursus dengan modal seadanya, peserta seadanya, dan fasilitas seadanya. Ia merasakan peluangnya, dan perasaan itu mendorong tindakan konkrit.

Atau kita bisa belajar dari pengalaman sejumlah network marketer di industri DS-MLM. Tokoh-tokoh sekaliber Alex lW di CNI, atau Robert Angkasa di Amway, pada mulanya juga tidak terlalu bersemangat menjalankan bisnis yang "tidak kantoran" itu. Akan tetapi, perlahan tapi pasti, mereka akhimya sampai pada tahap mampu merasakan bahwa bisnis yang mereka tekuni adalah bisnis yang luar biasa. Semakin mantap perasaan mereka terhadap peluang bisnis yang mereka tekuni, semakin banyak tindakan yang mereka ambil untuk lebih memfokuskan diri menjalankan bisnis tersebut.

Jadi, merasakan adanya peluang memerlukan sedikitnya dua hal, yakni: pertama, kemampuan melihat kemungkinan melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang; dan kedua, keberanian untuk menguji apakah hal yang mungkin menghasilkan uang itu akan benar-benar menghasilkan uang kalau ditekuni.

Pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana caranya kita tahu bahwa suatu peluang cocok dengan diri kita? Jawaban yang paling jujur adalah: kita tidak pernah tahu pasti. Bukan peluangnya yang kita tidak tahu pasti, melainkan diri kitalah yang tidak kita ketahui dengan pasti. Ada banyak potensi yang kita miliki yang justru akan bertumbuh kalau kita berani bertindak, mencoba dan menguji batas-batas kemampuan kita dalam mengendaliakan sesuatu. Ini ibarat seorang pria jatuh hati pada seorang perempuan. Bagaimana ia tahu bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan? Dan bagaimana pula ia memastikan bahwa kelak ia tidak akan jatuh cinta lagi kepada perempuan lain? la bisa mencari sejumlah tanda-tanda atau indikator yang menunjukkan mereka bisa cocok satu sama lain. Namun yang paling diperlukan adalah mendekati sang perempuan, mencari tahu segala sesuatu tentang dirinya, dan terus menerus membaca seberapa besar peluang untuk bisa menikahi perempuan idaman tersebut. Jadi, lagi-lagi yang diperlukan adalah keberanian bertindak, yang tentu saja disertai dengan komitmen yang teguh.

Patut diduga bahwa Primagama bukanlah usaha Purdi yang pertama. la juga mencoba usaha-usaha lainnya. Namun, pengalaman lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri sampai 2-3 kali membuatnya merasa cocok untuk bisnis yang satu itu. Kita juga bisa menanyakan apakah orang sekaliber Om William atau Om Liem yang konglomerat dulu itu langsung mantap dengan usaha pertamanya, atau juga harus jatuh bangun mengejar peluang yang cocok dengan dirinya?

Jika untuk sementara kita gagal dalam jenis usaha tertentu, bukan berarti kiamat. Boleh jadi itu hanya menunjukkan untuk usaha tertentu, kita tidak cocok. Asalkan hati mantap untuk menjadi entrepreneur, cari lagi jenis usaha yang lain. Belum cocok juga, coba yang lain lagi. Ibarat ingin menikah, carilah pasangan sampai dapat. Jika putus pacaran satu dua kali langsung memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup, berarti tekad menikahnya tidak cukup kuat. Dan jika tekad menjadi entrepreneur tidak cukup kuat, hampir bisa dipastikan akan berakhir dengan "kisah sedih di hari minggu". Sebab ada banyak studi yang menunjukkan bahwa menjadi entrepreneur itu memerlukan semacam sifat tahan banting.

Pertanyaan terakhir adalah bagaimana caranya membangun keyakinan bahwa kita bisa menjadi entrepreneur sukses dalam bidang usaha yang kita pilih? Menekuni peluang yang kita rasa cocok dengan diri kita pastilah membuat kita yakin bisa berhasil. Masalahnya, keyakinan itu ibarat air laut yang kadang pasang dan kadang surut.

Keyakinan bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh setidaknya empat hal, yakni: pertama, kejelasan visi dan target yang ingin dicapai; kedua, pengalaman pribadi yang mendukung atau yang tidak mendukung; ketiga, berbagai peristiwa yang sedang berlangsungdi masyarakat; dan keempat, pengetahuan dan wawasan intelektual yang kita miliki. Keempat hal tersebut harns dikelola, dimanajemeni, agar menumbuhkan keyakinan dan bukan malah menganiaya keyakinan. Dengan terus memperje1as target yang ingin dicapai secara periodik, menginventarisasi pengalaman yang mendukung [mencatat atau mengingat-ingat sukses- sukses kecil di masa lalu], mencermati sejumlah peristiwa yang aktual di masyarakat untuk diambil pelajarannya, serta meningkatkan wawasan pengetahuan lewat bacaan, travelling, networking, dan sebagainya, maka keyakinan akan bisa terpelihara dan bertumbuh.

Jadi, bagi siapa saja [terutama kaum muda) yang bertekad bulat menjadi entrepreneur, mulailah belajar merasa-rasakan adanya peluang. Kemudian, bertindaklah, cobalah mengejar peluang yang dirasa cocok sampai benar-benar ketemu yang benar-benar cocok. Dan jangan lupa untuk berusaha menumbuhkembangkan keyakinan dengan memperjelas arah dan langkah dari waktu ke waktu, serta menarik sebanyak mungkin pelajaran dari universitas kehidupan. Jika ini dilakukan, maka boleh jadi kesuksesan hanyalah soal waktu semata.

Bukankah demikian?

Sumber: Andrias Harefa, WTS (Writer, Triner, and Speaker)

Belajar Optimis

Menjadi entrepreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi baru negeri ini. Meraih cita-cita semacam itu tentu memerlukan keyakinan kuat bahwa ada harapan untuk mengubah cita-cita menjadi realita. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah optimisme, yakni sikap mempunyai pengharapan akan hal-hal baik dan menyenangkan dalam segala hal yang diusahakan. Sebab tanpa optimisme yang memadai, perjuangan menjadi entrepreneur sukses kemungkinan besar akan berakhir dengan "kisah sedih di hari minggu".

Masalahnya sekarang adalah bagaimana membangun optimisme dari dalam diri kita? Apakah benar optimisme itu bisa ditumbuhkan? Bukankah sebagian orang merasa dilahirkan sebagai orang yang pesimis "dari sononya"? Adakah cara mengubah pesimisme menjadi optimisme? Bisakah orang yang "mudah menyerah" dilatih menjadi orang yang "pantang menyerah"? Demikian sejumlah pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabnya.

Cara kita menjawab setiap pertanyaan di atas akan secara langsung menunjukkan apakah kita cenderung optimis atau cenderung pesimis. Orang optimis akan menjawab pertanyaan di atas dengan kata-kata vang menimbulkan harapan, apapun bentuk kalimatnya. Sementara orang pesimis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menggunakan kata-kata vang menunjukkan ketidakberdayaan.

Kalimat-kalimat seperti, "ada banyak cara membangun optimisme", "kita pasti bisa menumbuhkan optimisme", "kita dilahirkan untuk berkarya", "ada banyak jalan menuju Roma", "semua orang bisa kalau ia mau belajar sungguh-sungguh", "apa yang sulit itu bukan berarti mustahil", "kalau kita belum mencoba dengan sungguh-sungguh, bagaimana kita bisa tahu kita mampu atau tidak? coba dulu", "kesulitan itu latihan mental yang kita perlukan untuk maju", "kalau gagal hari ini, besok belum tentu", adalah contoh dari kalimat¬-kalimat yang sering dipergunakan oleh orang-orang optimis. Sebaliknya, orang-orang pesimis akan lebih menyukai kalimat-kalimat seperti, "menjadi optimis itu sulit sekali", "mana mungkin orang bisa diajar optimis", "sejak kecil saya sudah begini", "ayah dan ibu saya juga pesimis kok", "saya memang tidak berbakat", "hal semacam itu mustahil bagi saya", "sudah pernah saya coba dan nggak bisa", "saya memang bodoh", "tidak ada lagi yang bisa saya lakukan", "saya nggak tahan lagi", "lingkungan saya tidak mendukung", dan seterusnya.

Andai kalimat-kalimat di atas di bedah lebih rinci, maka akan nampak sebuah pola khusus yang membedakan pola pikir kaum optimis dengan kaum pesimis. Kalimat –kalimat yang dipikirkan orang optimis mengandung harapan dan mendorong adanya tindakan aktif. Sementara kalimat-kalimat yang menguasai pikiran orang pesimis berujung pada rasa takut, rasa tak berdaya, rasa menjadi korban keadaan/lingkungan. Ketika orang optimis berpikir ke arah Timur, maka orang pesimis berpikir ke arah Barat.

Hal ini menjadi lebih mudah dipahami jika diperhadapkan pada kesulitan atau penderitaan hidup [misfortune, suffering] . Kaum optimis akan menjelaskan-terutama pada dirinya sendiri-bahwa semua kesulitan bersifat sementara dan pasti berlalu; bahwa kesulitan dalam suatu hal tertentu tidak harus berdampak pada bidang yang lain, jadi terbatas cakupannya; dan sejumlah kesulitan dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal dan bukan karena dirinya bodoh atau bernasib malang melulu. Sementara, ketika diperhadapkan pada kesulitan dan penderitaan hidup, kaum pesimis memiliki kecenderungan untuk mengatakan - juga pada dirinya sendiri- bahwa hal ini bersifat permanen ["ini tidak akan pernah berubah"]; meluas aspek-aspek kehidupan yang lain ["semuanya akan hancur"]; dan bersifat personal ["ini semua kesalahan saya" atau "saya memang tidak berbakat"].

Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebenarnya cara kita menjelaskan suatu peristiwa kepada diri kita sendiri, akan menentukan respons atau tanggapan kita terhadap peristiwa tersebut. Selanjutnya, tanggapan kita atas suatu peristiwa akan membentuk pola pikir [thinking pattern] mana yang kita kuatkan sebagai kebiasaan. Semuanya itu berlangsung setiap hari, perlahan tapi pasti, dan kita memetik buah-buah kebiasaan tersebut dalam bentuk keadaan hidup kita saat ini. Apakah kita menjadi pribadi yang tangguh/optimis atau pribadi yang rapuh/pesimis adalah hasil dari cara kita merespons masalah dan kesulitan hidup sehari-hari. Dan cara kita merespons persoalan-persoalan hidup sehari-hari dapat berubah jika kita memutuskan untuk mengubah kata-kata dan kalimat yang kita katakan kepada diri kita sendiri.

Perhatikan kata-kata dan kalimat yang biasa digunakan oleh kaum optimis, lalu mulailah menggunakan kalimat-kalimat tersebut sebagai pengganti kalimat-kalimat yang menimbulkan pesimisme. Lakukan dengan tekun SETIAP HARI. Buanglah kata-kata dan kalimat yang menganiaya harapan. Jika itu dibiasakan selama tiga bulan saja, hasilnya akan luar biasa. Motivasi, semangat juang, dan optimisme kita bisa tumbuh begitu rupa, sehingga kita sendiri takjub atas pertumbuhan kita. Begitulah jutaan orang di sejumlah negara yang mengikuti anjuran Martin Seligman [Learned Optimism; 1990] dan belakangan juga Paul Stoltz [Adversity Quotient; 1997] membuktikan hal tersebut.

Tulisan ini hendak menegaskan bahwa optimisme atau pesimisme sesungguhnya BUKANLAH sifat bawaan, BUKAN pula takdir seseorang, BUKAN nasib, dan BUKAN sesuatu yang tidak mungkin diubah. Optimis atau pesimis adalah hasil pembelajaran, hasil pembiasaan berpikir dengan pola tertentu. Sama seperti semua bayi bisa berjalan karena belajar sedikit demi sedikit, demikian juga kita bisa menumbuhkan optimisme dari dalam diri kita setahap demi setahap. Belajar menjadi optimis itu mungkin tidak mudah, tetapi juga tidak lebih sulit dari belajar menggunakan kendaraan di jalan raya yang ramai. Setiap orang yang bisa naik sepeda kayuh, pandai mengendarai sepeda motor, atau mampu menyetir mobil, pasti bisa meningkatkan optimisme dalam berusaha meningkatkan kualitas hidupnya.

Bukankah demikian?

Sumber: Andrias Harefa, "WTS" (Writer, Trainer, and Speaker)

Wednesday, November 28, 2007

Entrepreneurial Leadership?

Dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini, V. Winarno, Ph.D, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM, menyitir sebuah kesimpulan maha guru manajemen modern Peter Drucker. Menurut Drucker, era ekonomi yang berdasarkan manajemen telah berakhir, dan kita sekarang bergerak ke era ekonomi berdasarkan kewirausahaan. Salah satu alasan yang disebutkan adalah karena manajemen menekankan pola berpikir secara rasional agar organisasi tetap survive. Dengan demikian manajemen, yang oleh Winarno diidentikkan dengan birokrasi, ketertiban, aturan dan prosedur, tak jarang membuat organisasi lambat menjawab perubahan. Keterlambatan ini seringkali tidak memuaskan pelanggan dan pada akhirnya akan merugikan organisasi. Dalam konteks ini ekonomi yang didasarkan kewirausahaan dirasakan lebih baik, karena setiap orang diberi kesempatan untuk melakukan yang terbaik dalam waktu cepat.

Tema diskusi kala itu adalah From Entrepreneur to Intrapreneur: How to Institutionalize Creativity, Innovations, and Intrapreneurship in Your Company. Dalam tema tersebut terkesan ada harapan untuk mencari sejumlah cara agar entrepreneurship spirit dari orang perseorangan [biasanya pendiri organisasi bisnis] dapat ditularkan atau diakomodasi secara sistemik ke dalam sebuah sistem organisasi dan membentuk apa yang bisa disebut sebagai entrepreneurial organization. Untuk itu diperlukan sejumlah intrapreneur alias intra corporate entrepreneur [entrepreneur dalam organisasi]. Dan mereka yang diharapkan memainkan peranan sebagai intrapreneur ini [siapa lagi kalau bukan] para manajer, terutama di lapisan tengah. Mereka inilah yang diharapkan melakukan berbagai kegiatan entrepreneurial dalam organisasi.

Dalam diskusi tersebut, ikut hadir Marius Widyarto Wiwied, CEO PT Caladi Lima Sembilan, produsen kaos C-59 yang sudah memasuki pasar manca negara dengan merek C-Forty Nine. Ia berusaha membedakan antara manajer, entrepreneur, dan intrapreneur. Dari aspek kebebasan bertindak, manajer boleh dikatakan paling tidak bebas. Entrepreneur paling bebas, dan intrapreneur agak bebas. Ini nampak dalam hal pengambilan keputusan. Manajer harus bersetuju dengan penguasa [atasannya], menunda keputusan sampai merasa apa yang diinginkan atasannya tercapai. Entrepreneur mengikuti pandangan pribadi, mengambil keputusan dan berorientasi pada tindakan. Intrapreneur mahir mengajak orang lain menyetujui pandangannya, lebih sabar dan mau lebih berkompromi daripada seorang entrepreneur, sebab bagaimana pun intrapreneur tetap seorang pelaksana.

Laporan hasil diskusi yang dipublikasikan oleh majalah MANAJEMEN tersebut, hemat saya, menunjukkan adanya pergeseran harapan terhadap peran manajer dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi pemerintahan [terutama BUMN dan BHMN]. Mereka yang menduduki posisi manajerial tidak lagi diharapkan sekadar menjalankan fungsi-fungsi manajemen, karena itu saja tidak cukup untuk menopang pertumbuhan organisasi di tengah arus perubahan yang semakin cepat. Mereka juga diharapkan memainkan peranan sebagai entrepreneur dalam skala dan intensitas tertentu.

Ada sejumlah pertanyaan yang masih perlu dicari jawabannya terhadap pergeseran harapan atas peran para manajer itu. Pertama, apakah hal itu mengukuhkan sinyalemen sementara pihak mengenai matinya ilmu manajemen, atau sekadar menunjukkan bahwa manajemen tetap diperlukan, tetapi tidak cukup [necessary but insufficient]? Kedua, bagaimana dengan peran manajer sebagai pemimpin yang membuat lahirnya istilah Manager-Leader [antara lain dipergunakan oleh Andrew Tani dan kawan-kawan] atau Leader-Manager? Ketiga, jika manajer bisa dibedakan dengan entrepreneur dan intrapreneur, maka apa yang membedakan seorang entrepreneur dan intrapreneur dengan seorang leader? Keempat, apakah kita memiliki sejumlah contoh kasus untuk membuktikan bahwa kehadiran intrapreneur akan membuat organisasi berkembang ke arah innovative and creative organization? Kelima, jika kita ingin membangun sebuah entrepreneurial organization, maka apa saja prakondisi dan kondisi yang diperlukan untuk itu? Dan seterusnya.

Meski pernah memikirkan kemungkinan matinya ilmu manajemen, namun belakangan ini saya menyadari bahwa manajemen [dalam arti birokrasi, aturan dan prosedur] tetap akan diperlukan dalam batas-batas tertentu. Manajemen itu ibarat tubuh manusia yang melaksanakan berbagai aktivitas sesuai dengan arahan akal sehat dan hati nuraninya. Tubuh penting, namun bukan yang terpenting. Kegagalan paradigma manajemen terletak pada dominasinya terhadap hal-hal yang tidak bisa dimanajemeni, yakni spirit manusia. Mungkin itu sebabnya Gede Prama mengumandangkan konsep manajemen sebagai spirit. Manajemen an sich tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya.

Terobosan pertama yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kepemimpinan, yang mulai marak sejak akhir dekade 80-an. Jika manajemen mengurusi benda-benda [things] dan kepemimpinan bertalian dengan orang [people], maka dalam pengelolaan sebuah organisasi yang beranggotakan manusia dan memiliki aset-aset non-manusia, manakah yang harus didahulukan atau diprioritaskan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menjawab pertanyaan istilah mana yang lebih tepat Manager-Leader atau Leader-Manager.

Terobosan kedua yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kewirausahaan, yang boleh dikatakan menyambut meilenium ketiga, abad ke-21. Jika paradigma kepemimpinan berusaha menggugah spirit manusia dalam organisasi, maka paradigma kewirausahaan menantang keberanian bertindak untuk menyatakan spirit tersebut dalam bentuk konkrit yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan [stakeholders]. Diperlukan setumpuk keberanian untuk melakukan hal-hal baru [kreatif] atau untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda [inovatif].

Tidak terlalu jelas bagi saya atribut macam apa yang membedakan seorang leader dengan seorang entrepreneur. Keduanya pastilah memerlukan keberanian bertindak yang digerakkan oleh visi tertentu. Keduanya pastilah memiliki kecenderungan tidak puas dengan apa yang telah ada [status quo], sehingga berupaya melakukan perubahan dan pembaharuan. Namun jika fokus pengembangan organisasi diarahkan melalui pengembangan manusia dalam organisasi, mungkin itu lebih dekat dengan soal leadership. Sementara fokus pengembangan organisasi melalui pengembangan produk dan/atau jasa yang kreatif [baru] dan inovatif [berbeda], mungkin hal itu lebih dekat dengan entrepreneurship. Dapatkah pengembangan manusia dan pengembangan produk/jasa dalam organisasi dipisahkan secara tegas? Saya tidak tahu. Akan tetapi saya kira isu-isu organisasi akan bergerak dari leadership-management ke entrepreneurial leadership.

Jika benar bahwa kepemimpinan organisasi kini dan di masa mendatang memerlukan pola kepemimpinan yang bercorak kewirausahaan [entrepreneurial leadership], maka bagaimanakah kita membedakannya dengan kepemimpinan yang bercorak manajemen?

Pada titik ini saya kira penegasan Raymond W.Y. Kao, profesor di Nanyang Business School, Nanyang Technoligal University, Singapura, menjadi penting untuk disimak. Menurut Kao, kita harus meninggalkan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah mesin produksi uang untuk kepentingan segelintir orang saja [yakni investor yang sibuk mempersoalkan ROI-nya]. Dan sebagai gantinya kita harus menggunakan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah sebuah komunitas entrepreneur yang diciptakan untuk menghasilkan kesejahteraan bagi individu dan memberi nilai tambah kepada masyarakat. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan individu tertentu [para investor yang segelintir itu] hanya dapat diterima sepanjang usaha mereka memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Jika peningkatan kesejahteraan individu diukur dari Return on investment [ROI], maka nilai tambah bagi masyarakat diukur dari Return on labour [ROL, share of fruit of labour], Return on resources [ROR], dan Return on environment [ROE]. Jadi, dengan pendekatan entrepreneurial leadership, sebuah organisasi, terutama organisasi bisnis, tidak boleh hanya disibukkan dengan soal-soal seberapa cepat dan seberapa besar para shareholders memperoleh ROI-nya, tetapi juga soal-soal strategis lainnya seperti ROL, ROR, dan ROE dari kegiatan usahanya.

Dalam sistem politik dan ekonomi yang masih didominasi oleh paradigma manajemen, kehadiran entrepreneurial leader agaknya menjadi kerinduan banyak pihak di negeri ini. Ia bisa diharapkan untuk mengatasi kesenjangan yang amat besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin, sebab ia selalu concern tentang perluasan kesempatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup dimana usahanya berlangsung. Dan mengingat studi Arie De Geus dalam The Living Company [1997], kita dapat mengatakan bahwa organisasi yang dikendalikan oleh entrepreneurial leader akan menjadi organisasi bisnis yang mampu bertahan dalam jangka panjang [ratusan tahun], karena kepedulian mereka terhadap masalah-masalah socio-ekonomi dan lingkungan hidup di sekitarnya. Demikiankah?

MEMAKNAI KERJA

"Apa arti kerja bagi Anda?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Aktivitas untuk memperoleh nafkah hidup,” jawab Didi yang pengusaha.
”Kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau hasil,” ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.
”Tugas-tugas yang harus ditunaikan,” kata Wawan yang tentara.
”Mengembangkan potensi diri, memenuhi panggilan batin, mencari nafkah sekaligus memberi makna pada hidup melalui karya-karya kita,” urai Bagong yang pegawai.

***

Di sekolah kehidupan kita menyaksikan bahwa cara pandang atau peta yang kita pergunakan untuk memberi makna pada pekerjaan, akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam bekerja. Seorang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting, bernilai, bahkan mulia, misalnya, akan menunjukkan sikap kerja yang berbeda dengan mereka yang memaknai pekerjaannya sebagai hal yang tidak penting, tak bernilai, bahkan hina. Orang-orang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang pantas dibanggakan akan menunjukkan perilaku kerja yang berbeda dengan orang-orang yang merasa malu dengan pekerjaan mereka. Masalahnya bukan pada ”apa yang dikerjakan”, tetapi pada bagaimana mereka memaknai pekerjaan tersebut.

Seperti seorang kawan bernama Anton yang memaknai pekerjaannya hanya sebagai pekerjaan untuk nafkah hidup semata. Statusnya sebagai wiraniaga di perusahaan asuransi terkemuka negeri ini, sebenarnya cukup bisa dibanggakan. Namun, ia sedikit sekali menaruh minat atas apa yang dikerjakannya dan tak menyukai sifat pekerjaannya yang memberikan banyak tantangan. Hanya karena merasa wajib bekerja agar mendapatkan penghasilan, maka Anton bertahan di tempat kerjanya itu. Akibatnya, Anton sangat sensitif terhadap soal jumlah komisi yang diperolehnya. Jika komisinya berkurang sedikit saja dari biasanya, atau ia mendapatkan informasi ada komisi yang sedikit lebih tinggi di perusahaan asuransi lain, maka ia langsung ingin cepat-cepat pindah kerja. Kalau ada kesempatan kerja di luar industri asuransi pun, sepanjang hal itu memberikan penghasilan lebih besar, Anton akan segera merasa tertarik. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi Anton adalah tanggal pembayaran komisi/gajian. Selebihnya adalah kewajiban yang harus dilakukan.

Berbeda dengan Anton, kawan bernama Tommy memaknai pekerjaannya sebagai karier. Ia ingin ada peningkatan karier dari waktu ke waktu. Artinya, ia tidak melihat uang atau gaji sebagai satu-satunya faktor penentu kepuasan kerjanya. Ia juga memperhitungkan soal-soal lain, terutama soal kekuasaan/jabatan, status sosial, dan gengsi. Walau gajinya sebagai kepala bidang operasional sebuah bank nasional yang sudah mapan hanya rata-rata industri saja, namun ia tetap bersemangat karena merasa ada prospek karier untuk menjadi kepala cabang di tahun-tahun mendatang. Lagi pula, ia sudah mulai mendapatkan fasilitas pinjaman untuk membeli mobil idamannya, sesuatu yang menaikkan gengsinya di lingkungan kerabat dan tempat pemukimannya. Bagi Tommy, ia akan mulai berpikir untuk mencari pekerjaan baru, bila kariernya sudah mentok tak kemana-mana.

Lain lagi halnya dengan Titin yang bekerja sebagai penulis lepas. Ia memaknai pekerjaannya sebagai panggilan batin. Ia mencintai pekerjaannya, dan antara pekerjaan dengan irama kehidupannya sehari-hari tak terlalu banyak bedanya. Sebagai ibu dari dua anak remaja yang sudah ditinggal mati oleh suaminya, Titin terkadang ikhlas tak mendapatkan imbalan material apapun dari karya tulisnya yang dipublikasikan pihak lain untuk tujuan sosial. Ia merasa memang itulah tugasnya. Ia merasa ada kemuliaan dari apa yang dikerjakannya. Dan ia juga sangat menikmati kebebasan waktu kerjanya yang menurutnya ”tak ternilai harganya”. Sebab, sebagai penulis lepas ia bisa mengatur sendiri waktu untuk mengurus anak-anak dan mencari nafkah. Ia juga tidak harus terikat pada lokasi kerja seperti kantor, karena bisa bekerja dimana saja berkat laptop sederhana miliknya. Karenanya, walau penghasilan Titin tak berlebihan, ia tak pernah berpikir untuk berganti pekerjaan.

Baik Anton, Tommy, maupun Titin, adalah wajah dari orang-orang di sekitar kita. Orang-orang seperti Anton selalu mengutamakan gaji, komisi, uang. Status sosial, gengsi, jabatan, dan panggilan hidup urusan belakangan. Sepanjang pekerjaan mereka menghasilkan uang yang lebih banyak, mereka bersemangat dalam bekerja. Sementara orang-orang seperti Tommy masih bersedia bersabar dengan gaji yang pas-pasan, asalkan diberi jabatan formal, kekuasaan memimpin sejumlah bawahan, dan gengsi karena bekerja di perusahaan terkemuka. Dan bagi orang-orang seperti Titin, pekerjaan haruslah berkaitan dengan keyakinannya atas kontribusi hidupnya bagi keluarga, bangsa, masyarakat, atau dunia. Tak soal penghasilan pas-pasan, tanpa jabatan mentereng, tak punya kantor yang megah, dan sebagainya. Asal ada keyakinan bahwa karya-karyanya berguna bagi banyak orang, ikut mendorong proses-proses kebudayaan, membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah dan layak dihuni, cukuplah.

Anton, Tommy, dan Titin amat boleh jadi merasakan kepuasan yang berbeda atas hasil-hasil pekerjaannya. Di antara mereka juga mungkin sulit untuk saling memahami pilihan satu dengan yang lain. Masalahnya bukan pada ”apa” yang mereka kerjakan, tetapi pada kemampuan memaknai pekerjaan itu sendiri. Artinya, bisa saja seorang buruh pabrik atau tukang angkut sampah memaknai pekerjaan sebagai amanah atau panggilan hidup yang harus ditunaikan. Ia bisa dengan ikhlas dan senang hati melakukan pekerjaannya. Dan sebaliknya, seorang eksekutif muda atau manajer senior di perusahaan terkemuka hanya menganggap pekerjaannya sebagai sarana memperoleh uang semata. Sehingga, ia sering merasa terbebani, tidak gembira dan kurang puas dengan pekerjaannya.

Sejumlah psikolog ahli yang mendalami masalah kepuasan kerja dan kepuasan hidup menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang mampu memaknai pekerjaannya sebagai hal yang berkaitan dengan panggilan hidup atau amanah yang harus ditunaikanlah yang mengalami kepuasan kerja dan kepuasan hidup paling maksimal. Mereka umumnya memiliki minat yang tinggi terhadap apa yang mereka kerjakan, dan menikmati sifat-sifat dari pekerjaannya. Itu sebabnya ada kegembiraan dalam bekerja, dan motivasi mereka mengalir dari dalam batinnya. Mereka menjadi orang-orang yang tidak saja produktif dan kreatif, tetapi juga sekaligus loyal dengan tugas pekerjaannya.

Bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita pilih saat ini? Adakah pekerjaan yang kita lakukan hari-hari ini sesuai dengan minat dan potensi terbaik kita? Disamping soal uang, apakah pekerjaan kita berkesesuaian dengan panggilan hidup atau amanah dari langit yang memang perlu ditunaikan? Mampukah kita melihat kemuliaan dari pekerjaan kita? Setiap kita tentu memiliki jawabannya masing-masing. Yang jelas, bila kita ingin meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan hidup, maka hal terpenting yang mungkin perlu kita periksa adalah bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari.

Memberi makna pada pekerjaan, itulah hal yang tak bisa dilakukan oleh mesin-mesin canggih dewasa ini. Memberi makna pada pekerjaan juga tak mampu dilakukan oleh kambing, kucing, dan anjing. Sebab kemampuan memberi makna, adalah kemampuan khas yang dianugerahkan Sang Pencipta hanya kepada manusia ciptaan-Nya. Dan dengan bekal kemampuan memaknai ini pula manusia di mungkinkan untuk mengenal konsep kebahagiaan dalam hidupnya. Apakah kemampuan ini kita kembangkan dengan gegap gempita, atau terbengkalai begitu saja sehingga kita sering merasa terlunta kehilangan arah?

Sumber: Andrias Harefa, Writer- Trainer- Speaker

Andrias Harefa Training & Seminars

Andrias Harefa memulai karirnya di dunia training (pelatihan) SDM pada tahun 1989 ketika ia hijrah ke Jakarta untuk bergabung dengan Dale Carnegie Training - sebuah lembaga pelatihan bisnis terkemuka di dunia, yang berpusat di New York, Amerika Serikat. Di sini karirnya sebagai Training Consultant melejit hingga membuahkan beberapa penghargaan seperti: Konsultan Berprestasi [Club 250 tahun 1992], [Diamond Club 4 tahun berturut-turut, 1993-1996] serta sebagai Instruktur Yang Kreatif-Inovatif [1995].

Kini ia dikenal sebagai seorang Trainer dengan jam terbang terbanyak di negeri ini (lebih dari 15.000 jam). Sudah lebih dari 100.000 orang di berbagai institusi dan perusahaan di hampir semua kota besar Indonesia pernah diberi peatihan olehnya, di antaranya adalah: lihat klien.

Berikut topik pelatihan dari Andrias Harefa:

* Etika Bisnis

* Kreativitas & Inovasi Sistematik

* Supervisor-Manager Yang Efektif Berprestasi

* Effective Communication & Interpersonal Skills

* Professional Selling Skills

* Adversity Quotient for Sales People

* Adversity Quotient for Leaders

* Professional Writing Skills

* Business Presentation Skills


Lain-lain:

* Interpersonal Communication and People Skills

* Interpersonal Communication and People Skills

* Basic Salesmanship Training

* Consultative Selling Approach

* Productive-Creative Work Attitude

* Learning for Better Performance

* Public Speaking for Managers

* Applied Leadership and Practical Management

* Mindset and Action Management

Selain sebagai seorang Master Trainer, mantan presenter Book Reiew di Metro TV (2001) dan Success Story (Q-Channel Indovision, 2002) ini juga dikeal sebagai pembicara inspirasional, motivator, pembicara publik pada berbagai seminar yangdihadiri ratusan hingga ribuan orang serta sebagai narasumber di sejumlah stasiun radio dan televisi.

Beberapa topik seminar yang pernah dibawakannya bisa di lihat di sini: topik seminar


Monday, November 5, 2007

"Saya Berutang 100 Buku Pada Indonesia"

Kalau Gandari, pengantin Raja Pemangku Destarata dalam cerita Mahabharata, ingin memiliki anak seratus, maka Andrias Harefa pun menginginkan jumlah yang sama. Bedanya, bukan seratus anak yang ingin dilahirkan Andrias, melainkan seratus buku yang lahir dari ketajaman penanya. "Kecuali saya mati, saya akan menulis 100 buku," ujar pria asal Curup Bengkulu itu dengan mantap. "Itu adalah utang saya pada Republik ini," katanya menambahkan.

Itu tentu saja bukan janji gombal. Alih-alih terdengar muluk-muluk, pernyataan itu justru menunjukkan betapa kuatnya tekad sang penulis itu untuk mempersembahkan karyanya. Dan, sebagai bukti dari keseriusan itu, terhitung sejak 1998 sampai 2005, Andrias telah berhasil menerbitkan sebanyak 25 judul buku, atau rata-rata tiga buku setiap tahun. Hebatnya lagi, sebagian buku-bukunya itu berhasil masuk jajaran best seller. Luar biasa!

Andrias terutama dikenal sebagai penulis buku-buku motivasi dan manajemen diri. Itu sesuai dengan visi hidupnya: menebarkan semangat belajar dan optimisme sehingga setiap orang dapat menjadi pribadi terbaik dan berkarya dalam hidupnya. Pilihan itu juga sejalan dengan latar belakangnya sebagai seorang trainer. Sejak buku pertamanya Sukses Tanpa Gelar diterbitkan pada tahun 1998 Sampai saat ini, buku-bukunya selalu menjadi pilihan penting bagi para pelalap buku-buku motivasi.

Walaupun bukunya baru diterbitkan pertama kali pada tahun 1998, sebenarnya Andrias telah meraih berbagai prestasi dalam bidang tulis menulis jauh sebelumnya. Prestasi pertamanya diraih saat duduk kelas II SMP dengan menjuarai lomba karya ilmiah pelajar SMP tingkat kabupaten di Bengkulu.

Tentang prestasinya itu, Andrias punya kenangan khusus. Ia mengaku bahwa saat itu sebenarnya belum sadar kalau dirinya punya bakat menulis. Guru Bahasanyalah yang pertama-tama menemukan potensi itu, dan menganjurkannya mengikuti lomba. Walaupun awalnya ragu, Andrias akhirnya mengikuti saran tersebut. Dan, betapa senangnya dia ketika ternyata karyanya berhasil menyabet juara I lomba tersebut.

Tahun 1986, saat Andreas menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, sukses itu kembali terulang. Kali ini dia menjuarai Lomba Karya Tulis Mahasiswa Hukum tingkat Propinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sukses itu membuat pengagum Ahmad Wahib ini makin yakin dengan kemampuannya. Ia bahkan berpikir untuk menekuni dunia kepenulisan dengan lebih serius.

Namun , benih yang masih terkubur itu ternyata masih perlu menunggu untuk benar-benar tumbuh. Sejak pindah ke Jakarta di tahun 1989, Andrias memilih profesi sebagai trainer. Di tahun-tahun berikutnya, profesi ini berhasil melambungkan namanya sebagai instruktur pelatihan dan konsultan yang mengagumkan. Tak kurang dari enam penghargaan diterimanya sebagai konsultan berprestasi; Club 250 (1992), Diamond Club selama empat tahun berturut-turut (1993-1996), dan instruktur yang kreatif-inovatif (1995).

Baru pada tahun 1998, Andrias kembali ke dunia tulis menulis. Bukunya yang pertama (Sukses Tanpa Gelar terbitan Gramedia Pustaka Utama langsung menjadi best seller. Dan ibarat serangkaian petasan, ledakan sukses itu pun kemudian berlanjut lewat buku-buku yang lainnya, seperti Berguru pada Matahari (1998), Mematahkan Belenggu Motivasi (1999(, Membangkitkan Roh Profesionalisme (1999(, Menjadi Manusia Pembelajar (2000), Agar Menulis/Mengarang Bisa Gampang (2002), Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup( 2002), Mengasah Indra Kepemimpinan (2003), dan Be Happy: Memulung Keceriaan dari Sekolah Kehidupan(2005).

Dengan kesuksesan yang telah dicapainya, Andrias tentu saja merasa senang. Terlebih jika hasil pemikirannya itu benar-benar membantu para pembaca belajar dalam sebuah "Sekolah Kehidupan". Biar begitu, Andrias tidak mau berpuas diri dulu. Ia tetap ingin mempersembahkan 100 buku untuk rakyat Indonesia.

Tak seperti Gandari yang kehadiran keseratus anaknya malah menghancurkan dunia, sseratus buku yang akan dipersembahkan Andreas justru akan membuat dunia semakin bersinar. Kita tunggu saja.


Ismail Prawira Kusuma
Sumber:
http://mitranetra.or.id/news